Kadin : Importasi Jangan Ganggu Stabilitas Garam Petani Lokal

By Admin

nusakini.com--Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia meminta pemerintah untuk menetapkan regulasi yang tepat mengenai importasi komoditas garam dengan tetap melindungi usaha garam nasional. 

Hal itu diungkapkan Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Kelautan dan Perikanan Yugi Prayanto di sela-sela Focus Group Discussion (FGD) yang digelar di Menara Kadin, akhir pekan lalu.

“Jika pemerintah membuka keran impor garam sebaiknya memang disesuaikan dengan kebutuhan, jangan sampai berdampak pada kelangsungan usaha dan menjatuhkan harga di petani garam. Ini yang sebenarnya menjadi perhatian kami,” kata Yugi. 

Seperti yang diketahui sebelumnya, Kementerian Perdagangan (Kemdag) telah menerbitkan izin impor garam untuk kebutuhan industri sebesar 2,37 juta ton untuk tahun ini. Sementara Kementerian Perekonomian telah mengeluarkan keputusan impor garam industri 3,7 juta ton. Volume impor itu bahkan lebih tinggi dari rekomendasi dan estimasi kebutuhan versi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebanyak 2,2 juta ton. 

“Perbedaan data dapat menimbulkan ketidaktepatan regulasi. Harus ada pengkajian lebih jauh, seberapa besar kebutuhan untuk industri dan seberapa besar kebutuhan untuk konsumsi,” kata Yugi. 

Menurutnya, ketersediaan garam sebagai komponen bahan baku menjadi salah satu faktor penting dalam menunjang keberlanjutan produksi dan investasi di sektor industri yang memang terus berkembang. 

Selama ini, garam banyak digunakan untuk industri chlor alkali plant (industri kertas dan petrokimia), aneka pangan, farmasi, kosmetik, dan industri lainnya seperti pengasinan ikan, penyamakan kulit, pakan ternak, tekstil dan resin, pengeboran minyak, sabun dan deterjen.  

“Keran Impor bisa saja dibuka, tapi kami harapkan pemerintah tetap memantau pendistribusiannya agar tepat sasaran serta tetap menjaga kestabilan garam petani lokal. Jumlah yang diimpor harus sesuai dengan kebutuhan industri, terutama yang non pangan. Jangan sampai masuk dan beredar di wilayah konsumsi yang selama ini menjadi pasar petani lokal,” papar Yugi.  

  Ketua Himpunan Masyarakat Petambak Garam Indonesia (HMPGI), Edi Ruswandi mempertanyakan sinergitas regulasi terkait importasi garam yang menggunakan Permendag No.52/2017 Tentang Perubahan Permendag No.125/2015 Tentang Ketentuan Impor Garam dengan UU No.7/2016 dan turunannya Permen KP No.66/2017 Tentang Pengendalian Impor Garam, dimana Undang-undang No.7/2016 tidak dipakai sebagai dasar hukum untuk importasi garam yang digunakan kebijakannya oleh Kementerian terkait.  

“Kalau saja ada pelanggaran hukum dari peraturan hukum yang lebih tinggi, yaitu UU dipaksakan maka konsekuensinya sudah tidak benar dan mencederai kedaulatan pangan rakyat Indonesia sendiri,” ungkap Edi. 

Pihaknya berharap, pemerintah memperhatikan penegakan hukum. Selain itu, pemerintah dapat menjamin tersedianya pasar garam, menciptakan stabilitas harga, permodalan yang mudah dan pengawasan yang benar, yang melibatkan unsur Asosiasi/Himpunan. 

Berdasarkan catatan HMPGI, stok garam nasional produksi petani garam pada tahun 2017 yang belum terserap pasar tahun ini (awal 2018) menyisakan 25% dari total produksi sebesar 1,6 juta ton.  

HMPGI menilai, dengan jumlah tersebut dapat mencukupi kebutuhan industri dan konsumsi sampai bulan April 2018. 

Menurut Edi, keseriusan pemerintah utk dapat menyerap garam petani saat ini belum begitu diperhatikan. Sebaliknya, kata dia, pemerintah cenderung lebih fokus memberikan kebijakan importasi garam sekalipun dapat diduga melanggar UU No.7/2016. 

“Kedepan, kami harapkan pemerintah memberikan program solusi mengatasi sektor kekurangan garam nasional dengan membuat suatu kawasan ekonomi terpadu yang dapat menumbuhkan kesejahteraan ekonomi dan memiliki produksi garam yang dapat berdaya saing dengan impor,” pungkas Edi.(p/ab)